Persatuan Podok Pesantren/Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama atau asosiasi
pesantren NU berpendapat, untuk disebut pesantren, sebuah lembaga
pendidikan harus memiliki kriteria tertentu. Tidak semua majelis
pengajian bisa disebut pesantren.
Sekretaris Pengurus Pusat RMI Miftah Faqih mengatakan, di antara syarat sebuah lembaga pendidikan Islam layak dikatakan pesantren adalah adanya lima unsur yang lazim ada di pesantren, yakni kiai, santri, asrama, masjid atau tempat ibadah, dan kitab kuning.
”Ini penting agar pesantren tidak menjadi murah dan gampang disalahgunakan orang lain. Karena pesantren didirikan untuk khidmat (mengabdi), bukan untuk ma’isyah (lahan matapencaharian),” ujarnya, Kamis (7/3).
Terkait santri, RMI berpandangan, syarat minimal yang mesti dipenuhi adalah mereka berjumlah 50 santri. Di pesantren, mereka belajar kitab kuning atau kitab karangan ulama-ulama klasik di bawah bimbingan seorang kiai.
Dari pantauan RMI, sambung Miftah, sejumlah pesantren di Indonesia tak memenuhi syarat-syarat ini. Karena itu, dengan mudah pesantren dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kondisi ini pula yang membuka peluang pesantren jadi markas calon teroris oleh segelintir kelompok Islam berhaluan keras.
Saat ini, bagaimanapun jumlah pesantren tradisional, modern, atau gabungan keduanya, masih tetap mendominasi. Meskipun, RMI juga mencatat, sedikitnya 103 pesantren di Indonesia teridentifikasi mengembangkan ekstremisme atau terorisme.
Sekretaris Pengurus Pusat RMI Miftah Faqih mengatakan, di antara syarat sebuah lembaga pendidikan Islam layak dikatakan pesantren adalah adanya lima unsur yang lazim ada di pesantren, yakni kiai, santri, asrama, masjid atau tempat ibadah, dan kitab kuning.
”Ini penting agar pesantren tidak menjadi murah dan gampang disalahgunakan orang lain. Karena pesantren didirikan untuk khidmat (mengabdi), bukan untuk ma’isyah (lahan matapencaharian),” ujarnya, Kamis (7/3).
Terkait santri, RMI berpandangan, syarat minimal yang mesti dipenuhi adalah mereka berjumlah 50 santri. Di pesantren, mereka belajar kitab kuning atau kitab karangan ulama-ulama klasik di bawah bimbingan seorang kiai.
Dari pantauan RMI, sambung Miftah, sejumlah pesantren di Indonesia tak memenuhi syarat-syarat ini. Karena itu, dengan mudah pesantren dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kondisi ini pula yang membuka peluang pesantren jadi markas calon teroris oleh segelintir kelompok Islam berhaluan keras.
Saat ini, bagaimanapun jumlah pesantren tradisional, modern, atau gabungan keduanya, masih tetap mendominasi. Meskipun, RMI juga mencatat, sedikitnya 103 pesantren di Indonesia teridentifikasi mengembangkan ekstremisme atau terorisme.
Penulis: Mahbib Khoiron
Posting Komentar